pengelolaan kelas pembelajaran

Mei 17, 2009

TINGKATAN PEMAHAMAN SISWA
TERHADAP MATERI PEMBELAJARAN IPA
Oleh: muli
Abstrak: Pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan pemahaman meniru dan pemahaman intuitif merupakan tingkatan pemahaman paling dasar, dimana siswa baru sekedar tahu tentang suatu konsep dari pengalaman sehari-hari. Tingkatan berikutnya adalah pemahaman instruksional, dimana siswa tahu suatu rumus dan dapat menggunakannya, tetapi belum/tidak tahu alasannya. Selanjutnya tingkatan pemahaman observasi, pemahaman pencerahan, dan pemahaman formal akan dilalui siswa sebelum sampai pada tingkatan pemahaman tertinggi, yaitu pemahaman relasional. Pada tingkatan pemahaman yang terakhir, siswa telah menguasai konsep dan dapat menerapkannya pada situasi yang relevan maupun lebih kompleks. Untuk membantu siswa mencapai tingkatan pemahaman lebih tinggi, guru perlu menguasai pengetahuan tentang tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya guru perlu mengubah rutinitas cara mengajar. Pendekatan pembelajaran tradisional kapur dan tutur perlu dikurangi, diganti dengan pendekatan pembelajaran lain yang lebih mengaktifkan siswa secara fisik maupun mental. Cara guru mengevaluasi proses dan hasil belajar juga perlu dikaji ulang.
Kata kunci: tingkatan pemahaman, motivasi belajar, metode pembelajaran, pembelajaran bermakna, pembelajaran kooperatif, evaluasi belajar.
*) Wahyudi adalah guru SMU Negeri I Banjarmasin
________________________________________
1. Pendahuluan
1.1 Latar belakang masalah
Di dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Fisika [IPA] SLTP dan SMU (1994) disebutkan:
Mata pelajaran Fisika [IPA] bertujuan agar siswa mampu menguasai konsep-konsep Fisika [IPA] dan saling keterkaitannya, serta mampu menggunakan metode ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, sehingga lebih menyadari keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Dapat diartikan di sini bahwa hakikat tujuan pendidikan IPA adalah untuk menghantarkan siswa menguasai konsep-konsep IPA dan keterkaitannya untuk dapat memecahkan masalah terkait dalam kehidupan sehari-hari. Kata menguasai di sini mengisyaratkan bahwa pendidikan IPA harus menjadikan siswa tidak sekedar tahu (knowing) dan hafal (memorizing) tentang konsep-konsep IPA, melainkan harus menjadikan siswa untuk mengerti dan memahami (to understand) konsep-konsep tersebut dan menghubungkan keterkaitan suatu konsep dengan konsep lain. Untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu konsep atau baru pada tahapan tahu/hafal tentang konsep, guru perlu mengetahui tingkatan-tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Oleh karena itu, perlu kiranya dilontarkan di sini beberapa pertanyaan kepada guru IPA baik di SLTP maupun di SMU, berkaitan dengan tujuan pendidikan IPA seperti yang tersurat dalam GBPP. Sudahkah siswa kita menguasai/memahami konsep-konsep yang telah kita ajarkan? Bagaimana guru mengetahui bahwa siswa tidak hanya sekedar tahu, melainkan benar-benar telah mengerti terhadap materi ajar atau konsep yang diberikan? Tidak jarang guru sering menemui siswa-siswanya yang tergolong pandai (berdasarkan nilai-nilai ulangan maupun rapor), tetapi relatif gagal dalam menjelaskan alasan-alasan mereka dalam memberikan jawaban. Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa tersebut baru sekedar tahu, tetapi belum menguasai benar tentang konsep yang terkait dengan pertanyaan.
Secara tidak disadari, karena rutinitas tugasnya mengakibatkan guru tidak begitu menghiraukan/peduli apakah siswanya telah atau belum memperoleh pengalaman belajar yang bermakna. Sejauh mana siswa telah mengerti (understanding) dan tidak hanya sekedar tahu (knowing), tentang konsep IPA yang sudah disampaikan dalam proses pembelajaran? Rutinitas yang dilakukan para guru tersebut meliputi penggunaan metode pembelajaran yang cenderung monoton yaitu kapur dan tutur (chalk-and-talk), kurangnya pelaksanaan evaluasi selama proses kegiatan belajar dan mengajar (KBM) berlangsung, serta kecenderungan penggunaan soal-soal bentuk pilihan ganda murni pada waktu ulangan harian maupun ulangan sumatif tiap akhir catur wulan. Selain karena rutinitas tersebut, hal lain yang menyebabkan kurang pedulinya guru terhadap pengalaman belajar siswa selama proses KBM adalah kurangnya pengetahuan guru terhadap tingkatan-tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Berangkat dari permasalahan tersebut, di dalam artikel ini akan dibahas tentang tingkatan-tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.2 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas tingkatan-tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta saran-saran untuk memperhatikan tingkatan pemahaman siswa dalam upaya mengantarkan siswa kepada pengalaman belajar yang bermakna.
2. Kajian Literatur
2.1 Tingkatan Pemahaman Siswa Terhadap Materi Ajar
Pada tahun 1976, dengan diilhami pemikiran dari Stieg Melin-Olsen, Richard Skemp mengajukan gagasannya tentang tingkatan-tingkatan pemahaman (the levels of understanding) siswa pada pembelajaran matematika. Skemp (1976) membedakan tingkatan pemahaman siswa terhadap matematika menjadi dua. Tingkatan pemahaman yang pertama disebut pemahaman instruksional (instructional understanding). Pada tingkatan ini dapat dikatakan bahwa siswa baru berada di tahap tahu atau hafal suatu rumus dan dapat menggunakannya untuk menyelesaikan suatu soal (dalam matematika atau IPA), tetapi dia belum atau tidak tahu mengapa rumus tersebut dapat digunakan. Lebih lanjut, siswa pada tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan rumus tersebut pada keadaan baru yang berkaitan. Selanjutnya, tingkatan pemahaman yang kedua disebut pemahaman relasional (relational understanding). Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, siswa tidak hanya sekedar tahu dan hafal tentang suatu rumus, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa rumus itu dapat digunakan. Lebih lanjut, dia dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait pada situasi lain. Sebagai contoh adalah pada penguasaan konsep luasan segi tiga siku-siku dan luasan empat persegi panjang. Siswa yang berada pada tingkatan pemahaman instruksional baru hafal rumus-rumus luasan kedua bangun tersebut, dan belum atau tidak tahu hubungan kedua rumus luasan. Sebaliknya, siswa yang sudah berada pada tingkatan pemahaman relasional akan dapat menurunkan sendiri luasan empat persegi panjang dari rumus luasan segitiga siku-siku, karena dia dapat melihat hubungan bahwa bangun empat persegi panjang dapat dibentuk oleh dua buah bangun segitiga siku-siku yang sama. Pada situasi-situasi yang lebih pelik, misalnya mencari luasan bentuk bangun baru yang tersusun oleh kombinasi bangun segitiga siku-siku dan empat persegi panjang, siswa pada tahapan pemahaman relasional tidak akan mengalami hambatan yang berarti. Sebaliknya, karena hanya hafal saja, siswa pada tingkatan pemahaman instruksional akan mengalami kendala dalam menyelesaikan soal-soal yang lebih pelik tadi.
Ide Skemp tersebut mendapat tanggapan dari para pakar dan pemerhati pendidikan matematika dan IPA. Byers dan Herscovics (1977) menganalisis ide Skemp itu dan mengembangkannya lebih jauh. Menurut mereka, siswa terlebih dahulu berada pada tingkatan pemahaman antara, yaitu tingkatan pemahaman intuitif (intuitive understanding) dan tingkatan pemahaman formal (formal understanding). Pertama, sebelum sampai pada tingkatan pemahaman instruksional, siswa terlebih dahulu berada pada tingkatan pemahaman intuitif. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut. “Intuitive understanding is the ability to solve a problem without prior analysis of the problem.”
Pada tahap tingkatan ini siswa sering menebak jawaban berdasarkan pengalaman-pengalaman keseharian dan tanpa melakukan analisis terlebih dahulu. Akibatnya, meskipun siswa dapat menjawab suatu pertanyaan dengan benar, tetapi dia tidak dapat menjelaskan kenapa (why). Kedua, sebelum siswa sampai pada tingkatan pemahaman relasional, biasanya mereka akan melewati tingkatan pemahaman antara yang disebut dengan pemahaman formal. Secara eksplisit Byers dan Herscovics (1977) mendefinisikan pemahaman formal sebagai berikut. “Formal understanding is the ability [of student] to connect mathematical [and science] symbolism and notation with relevant mathematical [scientific] ideas and to combine these ideas into chains of logical reasoning.”
Dijelaskan di sini bahwa sebelum sampai pada tingkatan pemahaman relasional yang sebenarnya, siswa terlebih dahulu harus memahami/menguasai simbol-simbol dan notasi-notasi yang digunakan dalam matematika atau sains (IPA), kemudian menghubungkannya dengan konsep-konsep yang relevan di dalam matematika atau sains, dan menggabungkannya ke dalam rangkaian pemikiran yang logis.
Jika Skemp mengajukan gagasannya secara linear, tidak demikian halnya dengan Byers dan Hercovics. Dapat dilihat di sini bahwa menurut Byers dan Herscovics, tingkatan pemahaman siswa itu seperti suatu bangunan tetrahedral. Pada model tetrahedral ini, tiga tingkatan pemahaman yaitu pemahaman intuitif, instruksional, dan formal bisa dikatakan sebagai dasar tetrahedral, sedangkan tingkatan pemahaman relasional sebagai tingkatan pemahaman yang paling tinggi berada pada puncak tetrahedral. Namun demikian, mereka (Byers dan Herscovics) menyadari dan sangat hati-hati untuk tidak secara spesifik menunjuk tingkatan pemahaman mana yang harus diutamakan/dicapai di dalam proses belajar mengajar. Secara lebih arif mereka menyarankan agar guru menggunakan spiral approach selama dalam proses KBM dimana keempat tingkatan pemahaman tersebut digunakan secara runtut dan berulang-ulang menuju ke tingkatan yang lebih tinggi.
Selanjutnya Buxton (1978) juga menanggapi pendapat Skemp tersebut dan mengembangkan dua tingkatan pemahaman dari Skemp menjadi empat tingkatan pemahaman. Tingkatan pertama disebut pemahaman meniru (rote learning). Pada tingkatan ini siswa dapat mengerjakan suatu soal tetapi tidak tahu mengapa. Tingkatan ini mirip dengan tingkatan pemahaman intuitif yang dikemukan oleh Byers dan Herscovics. Tingkatan pemahaman kedua disebut pemahaman observasi (observational understanding). Pada tingkatan ini siswa menjadi lebih mengerti setelah melihat adanya suatu pola (pattern) atau kecenderungan. Kedua tingkatan tersebut merupakan elaborasi Buxton terhadap pendapat Skemp mengenai tingkatan pemahaman instruksional. Lebih lanjut Buxton berpendapat bahwa sebelum mencapai tingkatan pemahaman relasional, siswa mungkin terlebih dahulu mengalami tingkatan pemahaman ketiga yang disebutnya sebagai tingkatan pemahaman pencerahan (insightful understanding). Sebagai ilustrasi, ada seorang siswa yang mampu menjawab soal-soal dengan baik dan tepat, tetapi baru kemudian menyadari mengapa dan bagaimana dia dapat menyelesaikannya setelah berdiskusi ulang atau mempelajari ulang materinya. Kemudian dia menjadi baru sadar dan berkata: “Oh begitu ya asalnya”, atau mungkin dia berseru:”Eureka…aku mengerti sekarang”. Tingkatan keempat menurut Buxton adalah tingkatan pemahaman relasional, sebagaimana dikemukakan oleh Skemp. Buxton menambahkan bahwa pada tingkatan pemahaman ini, siswa tidak hanya tahu tentang penyelesaian suatu masalah, melainkan dia juga dapat menerapkannya pada situasi lain, baik yang relevan maupun yang lebih kompleks. Meskipun ada yang berpendapat bahwa elaborasi yang dilakukan Buxton terhadap ide Skemp tak lebih dari mengemas anggur lama dalam botol baru, namun hal ini tetap memberikan sumbangan dalam wacana pendidikan matematika dan sains.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkatan Pemahaman Siswa
Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa untuk mencapai pembelajaran yang optimal. Pembelajaran siswa dikatakan optimal jika mereka mengalami pembelajaran yang bermakna, yang disertai dengan pencapaian tingkatan pemahaman yang lebih tinggi dari tingkatan pemahaman mereka sebelumnya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah usia siswa (tingkat sekolah: SD, SLTP, atau SMU), pendekatan pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), dan motivasi siswa.
Faktor pertama adalah tingkat usia siswa atau jenjang sekolah. Kita tentu tidak terlalu berharap bahwa siswa kelas 1 sampai 5 bahkan 6 sekolah dasar (SD) untuk sampai pada tingkatan pemahaman relasional. Pada usia tersebut kebanyakan siswa hanya sampai pada tingkatan pemahaman intuitif, instruksional, observasional, dan hanya sedikit sekali, jika ada, yang sampai pada tingkatan pemahaman pencerahan. Kebanyakan pemahaman mereka ditekankan pada tingkatan hafalan (rote learning), tanpa tekanan untuk menjelaskan mengapa atau bagaimana. Hal ini bisa dimengerti karena pada usia ini siswa sedang pada tahap mengenal istilah, fakta, maupun rumus. Adalah tidak bijak kalau pada tingkatan usia atau jenjang sekolah ini guru memaksakan mereka, walau dimungkinkan, untuk sampai pada tingkatan pemahaman formal ataupun relasional. Hal ini merupakan penegasan bahwa bagaimanapun juga pengajaran yang menekankan rote learning tetap diperlukan. Sebaliknya, pada tingkatan sekolah lanjutan, baik pertama (SLTP) maupun menegah umum (SMU), pembelajaran haruslah dipusatkan pada pemberdayaan (empowerment) siswa untuk mencapai tingkatan pemahaman yang lebih tinggi, yaitu pemahaman formal dan relasional. Pembelajaran yang menekankan hafalan harus dikurangi dan diganti dengan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan tingkatan pemahamannya. Hal ini terkait dengan faktor kedua, yaitu cara guru menyampaikan proses pembelajaran, baik selama proses berlangsungnya KBM maupun pada saat melakukan evaluasi.
Cara pembelajaran tradisional, yaitu kapur dan tutur (chalk-and-talk) perlu dikurangi penggunaannya, atau jika perlu ditinggalkan, karena cara ini sedikit sekali melibatkan siswa baik secara pisik maupun mental selama proses KBM. Metode-metode pembelajaran lainnya seperti pembelajaran kooperatif, pemecahan masalah (problem-solving), inquiry, pembelajaran berkonteks (Contextual Teaching and Learning), dan pendekatan konstruktivisme perlu dikenalkan dan diterapkan. Di sini tidak dimaksudkan bahwa pendekatan pembelajaran kapur dan tutur tidak berguna sama sekali. Sebaliknya bahkan, mungkin kita akan setuju untuk berpendapat bahwa cara ini merupakan cara paling efektif, jika proses pembelajaran hanya dimaksudkan untuk mencapai target kurikulum, dan mengesampingkan daya serap siswa. Tetapi jika kita mengharapkan pembelajaran yang menekankan kepada pencapaian tingkat pemahaman siswa yang lebih tinggi atau pembelajaran yang bermakna bagi siswa, kita harus dapat memilih dan menggunakan cara-cara atau pendekatan pembelajaran seperti telah disebut di atas. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh-contoh manfaat penggunaan pendekatan pembelajaran kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang bekerja dalam kelompok secara kolaboratif akan memperoleh strategi berpikir yang lebih baik, pemikiran baru dan cara penyelesaian baru terhadap suatu masalah sebagai akibat dari interaksi sosial dan akademik dengan siswa lain (Johnson, Johnson, & Holubec, 1988). Ditegaskan pula bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasi internal dan rasa ingin tahu (curiousity) siswa. Hasil penelitian serupa juga disampaikan oleh Nason, Lloyd, dan Ginns (1996) yang menyatakan bahwa memfasilitasi siswa untuk belajar secara kolaboratif melalui kegiatan menulis dapat meningkatkan penyerapan siswa terhadap materi pembelajaran.
Dapat ditegaskan di sini bahwa pada pendekatan pembelajaran kooperatif siswa dikondisikan untuk aktif secara fisik dan mental. Melalui aktivitas mental inilah diharapkan terciptanya kesempatan bagi siswa untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran. Selama proses tukar pendapat, sharing informasi, maupun adu argumentasi yang berlangsung dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa berkesempatan untuk mengekspresikan apa yang dipahaminya kepada orang lain (mengkomunikasikan ide), mengklarifikasi ide, maupun menawarkan alternative ide. Di dalam proses tersebut, sangat dimungkinkan sekali siswa akan mengalami pencerahan pemahaman (sampai pada tingkatan insightful understanding), ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa ide yang diyakininya benar ternyata tidak dapat diterima oleh siswa-siswa lainnya (classroom learning community), dan siswa tersebut menerima serta puas atas penjelasan yang diberikan rekan-rekannya. Menurut teori konstruktivisme sosial (social constructivism), siswa tadi telah mengalami proses conceptual change selama interaksi akademik-sosial. Conceptual change yang dialami oleh siswa tersebut sebenarnya merupakan peningkatan pemahaman dari tingkatan instruksional ke tingkatan pencerahan. Begitu juga halnya pada pendekatan pembelajaran yang lain seperti pendekatan pemecahan masalah (problem solving), inquiry, dan contextual teaching and learning (CTL), siswa dituntut aktif secara fisik dan mental untuk dapat mengalami pembelajaran bermakna yang pada hakikatnya merupakan peningkatan tingkatan pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran.
Tahapan proses pembelajaran berikutnya yang berperan pada pengembangan tingkatan pemahaman siswa adalah proses evaluasi atau penilaian selama dan setelah pembelajaran. Siswa dikatakan mengalami pembelajaran sejati jika ia mampu mengembangkan suatu mental scheme yang ia gunakan untuk mengorganisasikan (to frame) pengetahuannya, dan kemudian membangun (to construct) pengetahuan baru sehingga mencapai taraf pemahaman (understanding) yang sebenarnya (Furqon, 1998). Berkenaan dengan hal tersebut, Sanusi (1998) menyarankan agar dalam proses KBM sudah seharusnya siswa didorong untuk mempertajam, memperluas, memperkaya, dan kemudian menstrukturkan kembali pengetahuan yang diperoleh sesuai dengan logika yang dibangunnya sendiri. Untuk dapat mewujudkannya, guru dapat menggunakan beberapa cara, salah satunya adalah dengan menggunakan sistem penilaian selama dan setelah pembelajaran dengan tepat. Sistem penilaian tradisional yang selama ini digunakan, yang menekankan pertanyaan-pertanyaan tertutup pada saat melakukan penilaian selama proses pembelajaran, serta penggunaan format soal pilihan ganda murni pada saat evaluasi sub-sumatif maupun sumatif setiap akhir catur wulan perlu dipertanyakan dan dipertimbangkan lagi manfaatnya bagi pengembangan tingkatan pemahaman siswa. Hal ini perlu ditekankan karena pertama, pertanyaan tertutup hanya menawarkan dan menggiring siswa ke satu jawaban. Selanjutnya pertanyaan dengan sistem pilihan ganda murni juga hanya menyediakan satu jawaban benar cenderung menggiring siswa untuk menjawab tanpa berpikir, karena alternatif jawaban telah disediakan. Konsekuensinya, penggunaan model pertanyaan ini hanya akan membantu siswa sampai pada tingkatan pemahaman paling dasar/rendah dengan kecenderungan untuk menghafal.
Lain halnya jika guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka selama proses pembelajaran, dan menggantikan bentuk soal pilihan ganda murni dengan bentuk soal uraian atau pilihan ganda yang disertai dengan alasan jawaban pada evaluasi hasil belajar. Melalui pertanyaan terbuka selama proses KBM guru dapat mengetahui sejauhmana tingkat pemahaman siswa terhadap materi ajar, dan juga terhadap materi-materi ajar lain yang terkait. Siswa yang hanya hafal konsep akan menjawab dari satu sudut masalah. Sedangkan, siswa yang menguasai dengan sebenarnya konsep tersebut akan mengelaborasi jawabannya dari berbagai sudut, karena ia sudah sampai pada tingkatan pemahaman relasional. Demikian juga halnya jika digunakan bentuk-bentuk soal uraian ataupun pilihan ganda yang disertai dengan alasan jawaban pada proses evaluasi hasil belajar. Bentuk soal uraian (essay) dan penggunaan pertanyaan terbuka memberikan peluang kepada siswa untuk menyampaikan apa yang dipahaminya yang berkaitan dengan isi pertanyaan. Semakin kompleks dan relevan jawaban siswa, semakin tinggi tingkatan pemahaman siswa tersebut. Hal ini juga menunjukkan semakin tinggi dan komplek mental scheme yang dimilikinya. Sebaliknya semakin sederhana jawaban siswa, misalnya ia hanya meninjau dari satu sudut, padahal kemungkinan jawaban adalah dapat ditinjau dari berbagai sudut, mengindikasikan bahwa tingkatan pemahaman siswa tersebut masih dasar sekali.
Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan jawaban dari dua orang siswa terhadap pertanyaan terbuka sebagai berikut: “Jelaskan, mengapa model atom Bohr lebih dapat diterima daripada model atom Rutherford?” Jawaban siswa pertama: “Model atom yang diajukan oleh Bohr lebih stabil daripada model atom Rutherford”. Jawaban siswa kedua: “Model atom Rutherford tidak dapat diterima lagi setelah Bohr mengajukan model atomnya. Hal ini karena, pertama, ada beberapa kejanggalan dalam teori atom Rutherford, khususnya mengenai kestabilan atom. Menurut teori klasik elektromagnetik, gerak elektron dalam mengorbit inti akan menghasilkan medan magnet yang berubah-ubah dan perubahan medan magnet akan menghasilkan medan listrik yang berubah-ubah juga. [Selanjutnya] jika terjadi perubahan medan magnet dan medan listrik, maka akan terjadi pemancaran gelombang elektromagnetik. Hal ini berarti terjadi pemancaran energi selama elektron mengorbit inti atom, sehingga energi elektron berangsur-angsur berkurang. Hal ini mengakibatkan jari-jari orbit elektron mengecil dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke inti. Berarti atom menjadi tidak stabil, padahal kenyataannya atom itu stabil. Selain itu, jika jari-jari lintasan elektron berangsur-angsur mengecil, frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan seharusnya juga mengecil. Hal ini mengakibatkan spektrum warna yang dihasilkan berupa spektrum kontinyu. Padahal kenyataannya menurut hasil pengamatan, spektrum yang dihasilkan oleh atom adalah spektrum diskontinyu atau spektrum garis. Kedua, model atom Bohr lebih dapat diterima. Bohr mengajukan dua postulat dalam teori dan model atomnya. Postulat pertama, di dalam atom terdapat tingkat-tingkat energi atau lintasan-lintasan tertentu dimana elektron dapat beredar mengelilingi inti tanpa disertai pemancaran atau penyerapan energi. Tiap lintasan ditandai dengan satu bilangan bulat yang disebut dengan bilangan kuantum utama. Lintasan-lintasan itu, yang disebut juga dengan kulit-kulit atom, adalah orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari tertentu. Orbit tersebut dinamakan orbit keadaan stationer. Postulat kedua, jika atom menyerap energi sebesar tingkat perubahan energi dalam atom, maka elektron dalam atom tersebut akan berpindah dari orbit dalam ke orbit yang lebih luar. Dalam keadaan seperti ini dikatakan atom mengalami eksitasi. Jika elektron suatu atom berpindah dari orbit luar ke orbit yang lebih dalam, maka elektron tersebut akan melepas energinya yang berupa foton, yang besarnya sama dengan perubahan tingkat energi. Energi foton inilah yang menghasilkan spektrum cahaya pada atom [hidrogen].”
Jika diperhatikan secara sekilas, jawaban siswa pertama adalah seolah-olah benar apabila yang diperhatikan hanya kata kunci lebih stabil pada jawaban yang diberikan. Tetapi jika disimak, jawaban tersebut adalah salah sama sekali. Tidak ada model atom yang lebih stabil. Mungkin kita bisa memaklumi bahwa yang dimaksud oleh siswa adalah ketidakstabilan atom jika model atom Rutherford benar adanya. Sayangnya, siswa pertama ini tidak mengelaborasi jawabannya. Dilihat dari jawabannya yang hanya singkat dan salah (miskonsepsi), siswa pertama ini belum sampai pada tingkatan pemahaman yang tinggi. Berbeda dengan jawaban siswa kedua yang panjang namun bernas (concise). Jawaban siswa kedua telah dapat menggambarkan tingkatan pemahaman relasional yang telah dimilikinya. Siswa kedua telah berhasil menguasai atau paling tidak mengenal secara komprehesif beberapa konsep yang terkait dengan pertanyaan, misalnya teori klasik elektromanetik, postulat Bohr, dan model atom Rutherford, serta mampu menerapkannya untuk menjawab pertanyaan dalam kerangka pikir yang logis. Dapat kita simak pada jawaban siswa kedua di sini, pertama, kelemahan model atom Rutherford dipaparkannya terlebih dahulu berdasarkan kajian teori klasik elektromagnetik. Kemudian kedua, ia menjelaskan postulat-postulat dari model atom Bohr untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, serta ilsutrasi empirik yang dilakukan (diajukan) Bohr untuk menjelaskan lebih detail teori dan model atom menurut Bohr. Jawaban ini tidak hanya memuaskan guru pengajarnya, tetapi juga memberikan kepuasan intelektual bagi siswa.
Jika dibandingkan antara jawaban siswa pertama dengan jawaban siswa kedua, dapat dilihat betapa kontras perbedaan tingkatan pemahaman kedua siswa tersebut. Siswa pertama masih mengalami miskonsepsi, sedangkan siswa kedua telah sampai pada tingkatan pemahaman relasional. Siswa pertama adalah siswa yang mendapatkan proses KBM secara tradisional melalui metode kapur dan tutur, sedangkan siswa kedua dari kelas yang menggunakan pembelajaran alternatif, yaitu pembelajaran kooperatif. Hal ini mendukung dan memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa pencapaian tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran dan jenis pertanyaan yang digunakan guru pada waktu evaluasi belajar. [Ilustrasi diambil dari dokumen penelitian tindakan kelas yang dilakukan penulis pada waktu mengajar di SMU Negeri 1 Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Wahyudi, 1999)]. Lebih lanjut, penelitian tentang metode alternatif penilaian proses dan hasil belajar di kelas, misalnya portofolio (Robinson, 1998), mendukung apa yang telah dkemukakan sebelumnya. Ditegaskan dari hasil penelitian tersebut bahwa dengan sistem penilaian portofolio yang meliputi tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka maupun essay, para siswa dapat dilatih untuk menggali dan mengembangkan pemikiran mereka sehingga dapat menunjukkan tingkatan pemahaman mereka yang sesungguhnya.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi pencapaian tingkat pemahaman siswa terhadap materi ajar adalah motivasi belajar siswa. Siswa dapat dikelompokkan menjadi tiga, meskipun masih dapat diperdebatkan, berdasarkan motivasi mereka ke sekolah. Kelompok pertama adalah kelompok siswa yang memang benar-benar ingin belajar (willing to learn), ingin memahami apa yang akan dipelajari selama proses pembelajaran. Kelompok ini mempunyai motivasi internal yang sangat tinggi. Kelompok ini biasanya mempunyai tingkat partisipasi yang relatif lebih tinggi daripada kelompok lain selama proses KBM. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka berkisar tentang konsep yang dibahas dengan kata tanya mengapa, bagaimana, bagaimana jika, dan kata tanya lain yang berorientasi pada pendalaman konsep. Kelompok kedua adalah kelompok siswa yang hanya ingin nilai terbaik (to gain a good mark). Siswa dalam kelompok ini biasanya punya motivasi dan tingkat partisipasi yang tinggi dalam proses KBM, namun labil. Bagi mereka yang penting adalah tahu mana yang akan berguna di dalam kuis, ulangan, atau tes-tes yang lain, sehingga mendapat nilai yang terbaik. Berbeda dengan siswa dalam kelompok pertama yang menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan (pendalaman) konsep, siswa dalam kelompok kedua lebih sering bertanya apakah konsep yang sedang dibahas akan keluar (ditanyakan) atau tidak pada ulangan nanti. Mereka cenderung untuk menghafal, bukan benar-benar untuk memahami. Kelompok terakhir adalah kelompok siswa yang sekedar ikut sekolah (to have fun at the school) atau lebih populernya kelompok penggembira. Bagi siswa yang termasuk dalam kelompok ini, yang penting adalah masuk sekolah dan naik kelas. Terhadap siswa-siswa kelompok pertama dan kedua, guru masih mungkin untuk membantu mereka dalam mencapai tingkatan pemahaman yang lebih tinggi melalui metode pembelajaran alternatif seperti yang diuraikan sebelumnya. Sebaliknya meskipun relatif sulit, guru masih tetap juga dapat membantu siswa yang masuk dalam kelompok ketiga melalui orientasi motivasi (memberikan orientasi eksternal) dan peer support yang dimungkinkan dalam pembelajaran kooperatif. Orientasi motivasi dapat diberikan selama proses belajar melalui kisah-kisah maupun metapora orang-orang sukses dalam belajar (terutama IPA), sedangkan interaksi sosial maupun akademik selama KBM yang kooperatif dapat memfasilitasi siswa kelompok ketiga untuk sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
3. Simpulan dan saran
Pada uraian di atas telah dijabarkan tentang tingkatan-tingkatan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran, serta faktor-faktor yang mempengaruhi siswa untuk mencapai suatu tingkatan pemahaman. Rutinitas guru dalam menjalankan tugasnya, serta ketidaktahuan (belum tahu) maupun pengabaian guru terhadap tingkatan pemahaman siswa cenderung untuk menghasilkan proses KBM yang kurang bermakna bagi siswa. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan amanat yang terdapat pada GBPP, yaitu untuk menghantarkan siswa menguasai konsep-konsep IPA serta penerapannya dalam menghadapi masalah sehari-hari.
Adalah tugas guru untuk membantu setiap siswa dalam mencapai tingkatan pemahaman yang lebih tinggi dari tingkatan pemahaman sebelumnya. Oleh karena itu, ada dua saran yang perlu disampaikan. Saran pertama, setiap guru seyogyanya mempunyai visi bahwa setiap siswa dapat belajar dan dapat mencapai tingkatan pemahaman yang paling tinggi, yaitu tingkatan pemahaman relasional. Perbedaan kemampuan daya serap siswa dan motivasi belajar siswa hendaknya bukan menjadi penghalang, melainkan seharusnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh guru dalam membantu siswa untuk mencapai tingkatan pemahaman tersebut. Saran kedua, setiap guru hendaknya mempunyai misi untuk membantu siswa mencapai tingkatan pemahaman yang lebih tinggi melalui proses KBM. Misi tersebut harus diwujudkan dalam kepedulian dan kemauan guru untuk menggunakan pendekatan KBM yang dapat memotivasi siswa untuk berpikir dan belajar sampai kepada tingkatan pemahaman yang paling tinggi.
________________________________________
Pustaka Acuan
Buxton, L., 1978. Four levels of Understanding. Mathematics in School, 4 (17).36
Byers, V. dan Herscovics, N., 1977. Understanding school science. Mathematics Teaching, 81. 24-27.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1994. Garis-Garis Besar Program Pengajaran IPA Fisika SLTP. Depdiknas, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., 1994. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Fisika SMU. Depdiknas, Jakarta.
Furqon, 1998. Sistem penilaian kelas untuk meningkatkan mutu KBM. Naskah disampaikan dalam Diskusi Prospek Pendidikan Masa Depan, Jakarta, 15-16 Desember.
Johnson, D. W., Johnson, R. T., dan Holubec, E. J., 1988. Cooperation in the classroom. Edina, MN: Interaction Book Company.
Nason, R., Lloyd, P., dan Ginn, I., 1996. Format-free databases and the construction of knowledge in primary school science project. Research in Science Education, 26(3), 353-373.
Robinson, D., 1998. Students Portfolios in Mathematics. The Mathematics Teacher, 91(4), 318-325
Sanusi, A., 1998. Falsafah ilmu, teori keilmuan, dan metode penelitian: Memungut dan meramu mutiara-mutiara yang tercecer. PPS-IKIP: Bandung.
Skemp, R. R., 1976. Relational understanding and instructional understanding. Mathematics Teaching, 77, 20-26.
Wahyudi, 1999. Metode penulisan naskah drama dalam pembelajaran teori dan model atom untuk mata pelajaran Kimia kelas III di SMU Negeri 1 Banjarmasin.
Laporan Penelitian Tindakan Kelas. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Propinsi Kalimantan Selatan.

Hello world!

Mei 17, 2009

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!